SURAH AL-INFITHAR
"TERBELAH"
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha PenyayangTema dan pola surah ini mirip dengan surah al-Takwir, tetapi maknanya berbeda. Surah ini memperingatkan kita bahwa manifestasi penciptaan akan berakhir dan mendeskripsikan bagaimana kejadian tersebut berlangsung dengan cara yang secara nalar dapat kita pahami. Nalar kita memahami kenyataan bahwa segala sesuatu yang diciptakan berasal dari zat padat yang memuai, kemudian rusak dan selanjutnya terjadi pembaharuan. Setiap pembahan tersebut tidak ada yang menjelma ke dalam bentuk atau pola yang tidak berakhir. 'Akhir' ini senantiasa berada di sepanjang bentangan waktu, dan objek kajian kita adalah pengetahuan mutlak yang tidak bembah dengan berjalannya waktu, yakni pengetahuan yang sah dan benar selamanya.
Surah ini dimulai dengan deskripsi tentang alam semesta dan lelangit, kemudian berlanjut ke tingkat duniawi—kuburan—yang merupakan tujuan akhir dari wujud sadar. Bahkan realitas yang menurut perkiraan kita sebagai wujud akhir pun akan hancur.
إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
1. Tatkala langit terbelahAyat ini berbicara tentang akhir waktu dan awal kehidupan berikutnya. Infatharat berasal dari kata kerja yang artinya 'retak, koyak atau pecah berantakan'. Fithrah, dari akar kata yang sama, berarti 'sifat bawaan lahir, naluri'. Kata fitrah secara inheren mengingatkan pada gagasan tentang 'asal-mula', dan, sebagaimana nampak dari bentuk-bentuk katanya yang sekaitan, menunjukkan bahwa asal-mula sesuatu bersumber dari retakan. Alquran mengatakan bahwa bumi berbentuk telur, dan ketika air muncul maka bumi pun retak sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan sesuatu dari dalam bumi. Berdasarkan apa yang nampak dan secara simbolis, segala sesuatu berasal dari satu sumber awal yang mendadak masuk ke dalam arus penciptaan yang bersaluran banyak.
Lelangit dipersatukan oleh kekuatan-kekuatan berbeda yang menjaga agar bintang-bintang dan planet-planet tetap berada dalam orbitnya yang teratur. Jika sistem tersebut retak, maka tatanan ini akan rusak. Implikasinya di sini adalah bahwa bila sistem eksistensi di alam ini—baik untuk kita maupun untuk makhluk lain, seperti jin—sudah mencapai suatu titik yang merupakan akhir perkembangan, maka sistem tersebut akan mulai runtuh. Setiap sistem yang ada bersifat terbatas kecuali yang hakiki, yakni Allah yang meliputi semua sistem. Ia Tidak Berbatas dan karena alasan inilah maka muncul batas-batas yang penuh makna. Setiap batasan berasal dari Yang Tak Berbatas, dan karena berasal dari Yang Tak Berbatas, maka ia mesti terbatas. Waktu dapat dipahami hanya karena ada ketidakberwaktuan, yang maknanya sudah terkandung dalam diri manusia.
وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انتَثَرَتْ
2. Dan tatkala bintang-bintang bertebaran.Beginilah yang terjadi sebagai akibat dari ayat pertama. Intatsarat artinya 'bertaburan secara serampangan'. Kawâkib adalah 'planet-planet'. Menurut pendapat kita, ketika lelangit retak, planet-planet yang terdekat kepada kita akan bertaburan. Kekuatan yang dengan kuat menjaganya agar tetap dalam orbit akan hancur dengan sendirinya.
Kawkaba, akar kata yang merupakan asal kata kawâkib, artinya 'bersinar cemerlang', terutama digunakan untuk menggambarkan kilau besi yang mengkilat. Jika suatu 'hari' digambarkan sebagai kawkabi, berarti hari tersebut memiliki arti penting atau kesulitan tertentu. Dalam hal ini, menurut pendapat kita, kata tersebut menunjuk kepada berbagai unsur di alam raya yang keberadaannya menonjol dalam sistem tata surya, dan mereka bersinar dengan kecemerlangan yang lebih besar dibanding sinar benda langit lainnya.
Intatsara yang berarti 'bertaburan atau berhamburan, bertebaran', menunjukkan bahwa pertaburan ini terjadi secara serampangan meskipun mengikuti pola tertentu. Gerakannya acak, namun tidak tanpa makna, dan bersifat abstrak. Kata intatsarat menimbulkan kesan menaburkan benih di atas tanah. Dari sudut pandang si penabur, si pelaku, maka penaburan ini mengikuti pola tertentu, yakni pola yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti ukuran tangan dan gerakan serta iramanya yang normal, meskipun dari sudut pandang pengamat atau peneliti penaburan tersebut nampak serampangan. Tindakan menebar itu sendiri adalah menaburkan, namun ia mengikuti pola tertentu yang sudah ditetapkan.
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
3. Dan tatkala lautan naik meluap-luap.Bila kekuatan atau sistem yang menjaga keutuhan alam semesta lenyap, maka terjadilah ledakan. Fujjiratfajjara, yang berarti 'menyebabkan mengalir, membelah, meledak'. Sistem yang ada akan meluap melampaui batas asalnya dan hancur dengan cepat. berasal dari
Kata kerja fajara mempakan sumber kata yang kaya makna, yang makna-maknanya semua bertalian secara logis, sehingga perlu mendapat perhatian lebih jauh. Fajr (subuh) dihubungkan dengan fajara. Malam, yakni kegelapan yang menyelubungi, dirobek oleh sorotan pertama cahaya pagi, karena itu kata tersebut diartikan 'fajar sidik'. Infijar adalah 'ledakan, letusan, atau letupan'. Dalam Al-quran, fujur (kejahatan, imoralitas, kejangakan) biasanya menunjukkan pelanggaran, tindakan kelewat batas, melampaui batas jalan. Bila seseorang dikatakan sebagai seorang fajir maka artinya orang tersebut merosot akhlaknya dan bermoral bejat tak punya malu.
Salah satu makna fajjara yang paling penting dalam Alquran terdapat dalam ayat berikut: "Sebuah mata air dari mana hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan berlimpah" (Q.S.76:6). Pengertiannya di sini adalah bahwa mata air itu ada dalam diri kita sendiri. Mata air tersebut, yakni tempat fitrah (sifat yang orisinil), berada di dalam hati manusia, tapi ia harus diletuskan dan dipancarkan. Untuk itu kita harus dapat mencapai mata air itu. Untuk membuka deposit box di sebuah bank saja kita harus berjalan melalui beberapa lorong guna mencapainya. Demikian juga hati: untuk mencapainya, kita harus berjalan melewati semua mangruang menakutkan yang telah kita buat dan kita bangun dalam perjalanan hidup ini.
Hasan al-Bashri, salah seorang murid Ali ibn Abi Thalib, mengatakan bahwa maksud dari ayat ini berkenaan dengan 'air yang mengering' karena air tersebut mengalir kembali ke sumber asalnya. Planet-planet yang menahan kita dalam orbit, yang berhubung dengan kita dan paling berpengaruh terhadap kehidupan kita, akan bertebaran. Demikian pula, lautan akan kosong, yang padat akan kembali mencair, dan uap akan kembali hampa. Kita akan melihat segala sesuatu terbalik dan kita pasti akan mengalaminya.
وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ
4. Dan tatkala kuburan-kuburan dibuka.Kini keruntuhan dunia semakin dekat. Tempat istirahat terakhir adalah kuburan, yang mempakan tempat kedamaian. Ba'tsara, akar dari bu'tsirat, berarti 'tersebar di sana-sini, terbalik, menjebloskan ke dalam kekacauan'. Ayat ini menggambarkan akibat lain dari terjadinya gangguan, antara lain, dalam daya gravitasi dan sentrifugal yang mempersatukan dunia. Pemakaman akan menyembul dan kuburan-kuburan akan terbuka. Apa pun yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh setiap jiwa akan tersingkap melalui pembukaan ini.
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
5. Setiap jiwa akan mengetahui apa yang ditempatkan di depan dan apa yang dibiarkan di belakang.Nafs di sini berarti 'roh', atau 'jiwa'. Akar katanya dihubungkan dengan tanaffasa, yang merupakan kata kerja 'bernafas'. Nafs adalah entitas kompleks yang meliputi sebab sejati eksistensinya, yakni roh. Kata ruhNafs juga memiliki semua ciri buatan yang dicangkokkan kepada roh sebagai akibat dari perwujudannya. Kata nafs dan ruh kadang dapat dipertukarkan. Hu-bungan mereka bagaikan matahari kepada bumi: diri disadarkan oleh roh. dalam bahasa Arab berkaitan dengan 'angin', karena sifatnya yang bebas mengalir.
Bila semua tiang lahiriah telah roboh, seperti pada Hari Kebangkitan, setiap diri akan menjalani realitasnya, dan realitas ini dibentuk oleh amal-amalnya dan oleh apa yang telah dipeliharanya sebelum dunia wujud lahiriah runtuh.
Qaddamat, di sini diterjemahkan sebagai '[ia] menempatkan di depan', kata kerja yang akarnya adalah qadam, artinya 'kaki', yakni, apa yang kita letakkan di hadapan kita untuk bergerak ke depan menuju sesuatu yang baru. Kita hanya mengupayakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Kalau tujuan kita adalah menyampaikan dan memperoleh pengetahuan tentang realitas, maka semua kekuatan di sekitar kita akan membantu.
Ayat ini mengatakan bahwa bila semua peristiwa tersebut tadi terjadi, maka niat seseorang akan terlihat jelas oleh dirinya sendiri, meskipun sebelumnya mungkin ia nyaris tidak memikirkan alasan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa lebih baik sama sekali tidak berbuat sebelum niat kita jelas, karena perbuatan hanya sesuai dengan niat yang mendahuluinya, dan kehidupan kita akan diuji. Jika kita memulai dengan hal nyata, maka kita akan membuat kemajuan. Umpamanya, menafkahi keluarga adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Karena bertindak dengan niat yang baik maka seseorang akan mencapai suatu titik di mana ia mulai haus akan pengetahuan, dan hal ini membawa dia kepada pengingatan akan Allah (zikir), yang pada gilirannya menggiring kepada kesunyian batin. Jika kita berbuat dengan ketulusan hati, rnaka keadaan zikir akan dicapai bagaimana pun juga, karena, seperti dikata-kan dalam Alquran, "Sesungguhnya la Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!'
Akhkhara artinya 'menunda, menangguhkan, menghalangi, mengembalikan', secara tidak langsung menunjuk kepada apa yang telah disembunyikan. Kita adalah hasil dari apa yang telah kita tinggalkan, masa lalu kita. Sebagai individu, sebagai manusia, kita adalah jumlah dari perbuatan dan pemikiran masa lalu kita, yang disembunyikan, ditangguhkan, atau yang diungkapkan. Yang berpotensi terjadi di masa mendatang adalah tujuan kita dan yang sebenarnya akan terjadi adalah perwujudan tujuan itu. Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan luar, dan hasil dari interaksi-interaksi ini adalah masa akan datang. Jika manusia mengetahui apa yang ada di belakang dan di depan dirinya, maka ia sudah menguasai seluruh cakrawala dan berhubungan dengan cakrawala tersebut.
Makna ayat ini adalah bahwa pada hari itu setiap nafs akan benar-benar menampakkan diri, warna, nada, dan iramanya. Roh berawal sebagai kekuatan sejati, dan substansinya terbuat dari suatu unsur yang dengan itu setiap roh lain dapat berhubungan. Oleh karena itu setiap roh akan melihat roh lainnya dengan jelas, tidak seperti sekarang di mana kita dapat menyembunyikan bagian-bagian dari diri kita yang tidak ingin diketahui orang lain. Oleh karena itu, semakin terbuka kita di sini dan saat ini, dan semakin siap kita hidup di sini dan saat ini, maka kita pun semakin siap untuk menghadapi yang akan terjadi kelak. Kita harus memperhatikan cara hidup kita, sepenuhnya dan secara total. Jika seseorang sungguh-sungguh ingin menerapkan hal ini, ia akan mencapai kesimpulan bahwa cara mewujudkannya adalah dengan membersihkan setiap niat dan merangkaikannya dengan perbuatan yang benar dan dengan sungguh-sungguh bersikap terbuka, tidak menutup-nutupi, dan siap ditanya.
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
6. Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan engkau dari Tuhanmu Yang Maha Pemurah?Setelah mengungkapkan bahwa dunia ini bersifat terbatas dan begitu kompleks serta fantantis, dan bahwa yang akan tertinggal dari masing-masing orang adalah jiwa, surah ini kemudian memusatkan perhatiannya langsung pada manusia. Insan (manusia) pada dasarnya memiliki sifat suka bergaul, peramah dan bersahabat. Makna yang lebih dalam dari ayat ini adalah: 'Wahai engkau yang sudah menjadi penyembah ketauhidan, dengan nama apa pun engkau menyebutnya, apa yang menyebabkan engkau sombong sehingga mengira bahwa engkau terpisah dari Tuhanmu Yang Senantiasa Pemurah?' Ketika kulit luar dunia hancur, apa alasan perbuatan manusia melepaskan diri dari Realitas Tunggal? Esensi manusia itu murah hati dan menyenangkan, lantas apa yang menyebabkannya begitu congkak?
Yang menjadi perhatian di sini adalah sifat manusia yang sesungguhnya, yakni yang akan tetap bertahan pada saat semua hiasan duniawi berangsur sima. Apa yang memalingkan dia sehingga tidak mengenal Rububiyyah (Ketuhanan)? Jawabannya adalah kecintaannya terhadap dunia ini, kesukaannya berada dalam kebingungan. Namun jawaban yang benar adalah 'tidak ada alasan'. Ketika terjadi pertentangan dengan Tuhan, mengapa manusia tidak melaksanakan apa yang menjadi tujuannya dilahirkan, yakni mencari kebenaran? Untuk ini pun tidak ada jawaban yang sahih.
Selain Allah, semuanya adalah palsu dan kita tidak bisa ditipu oleh 'ketiadaapa-apaan', oleh suatu keniskalaan. Apa pun yang memalingkan manusia dari garis kebenaran maka itulah dunia, yang bersifat sementara dan menyebabkan kita berada dalam ghaflah (kelalaian, ketakperdulian). Kita menjadi terpancang pada dunia ini karena berbagai ilusi yang dibebankan pada diri kita sendiri, walaupun kita sebenarnya mencari keamanan. Sebenarnya, Yang Senantiasa Memberi Keamanan itu sudah ada di dalam hati dan berpengaruh terhadap situasi lahiriah, dan dalam situasi tersebut kita mendapati ternyata kita mengikuti hal-hal yang bersifat sementara. Kita harus berupaya untuk merasakan keamanan tersebut, dan begitu unsur yang menyebabkan kecintaan kita itu tidak lagi berkuasa, maka kita pun bebas dari kelalaian dan dapat mengenal Tuhan kita.
Perekat cinta yang paling hebat adalah tampilnya 'Aku', sang ego. Saat penciptaan berlangsung, unsur setaniah berkata, "Aku lebih baik daripada dia" (Q.S.7:12), dan dengan masuknya unsur ini maka mulailah kecintaan terhadap sesuatu yang asalnya tidak ada. Ketika dunia yang nampak ini tiba pada saat akhimya, maka segala sesuatu yang menjadi sandaran pun akan lenyap. Setan tidak akan muncul di alam kesatuan absolut, karena mustahil kekuatan yang menyebabkan keterpisahan itu akan berfungsi di sana.
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
7. Yang menciptakan engkau, lalu menyempumakan engkau, lalu membuat engkau seimbang (proporsional).Seandainya manusia tidak diciptakan maka ia tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, juga tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan eksistensi batin, juga tidak akan melihat ratusan bunga yang nampak sama namun berbeda dalam warna dan bau.
Sawwa memiliki banyak makna, termasuk 'meratakan, mendatarkan, meluruskan, mengatur, merapikan, menyamakan'. Lantas, mengapa manusia berlaku sombong padahal ia melihat betapa dirinya diberi potensi untuk tampil harmonis dan sempurna?
'Adl artinya 'lurus', dan ini merupakan prinsip yang paling efisien (jalan tercepat untuk menghubungkan dua titik, bagaimana pun, adalah garis lurus). Ia juga berarti 'keadilan, kewajaran dan ketulusan'. Segala sesuatu secara menakjubkan diciptakan dengan seimbang, wajar dan ekologis, baik di alam lahir maupun batin—dua alam ini sebenarnya adalah satu, dan, karenanya, seimbang. Kita memahami Pencipta kita melalui penelitian dan perenungan terhadap ciptaan-Nya.
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاءَ رَكَّبَكَ
8. Dalam bentuk apa pun Ia kehendaki, Ia membentuk kamu.Shurah adalah 'gambaran, bentuk, rupa, kesamaan atau tiruan, dari kata kerja shawwara, 'membentuk, menciptakan, menggambarkan, membuat'. Rakkaba adalah 'mengikatkan, membangun, menyatukan'. Akar katanya adalah rakiba (menaiki). Bila kita melihat penciptaan secara keseluruhan, maka kita akan mengetahui bahwa temyata apa pun dapat terjadi, dan memang terjadi. Adalah di luar pemahaman intelektual kita untuk mengerti mengapa suatu sel atau makhluk tertentu bergerak dengan cara tertentu, dan kemudian kita menyebutnya sebagai gerakan yang abstrak atau serampangan. Sebenarnya tidak ada yang serampangan dalam gerakan tersebut, tapi yang terjadi adalah bahwa kita tidak dapat memahami gerakan tersebut. Sebenarnya, pola pencarian intelektual kita bisa melalui proses pemahaman atau, kalau tidak, melalui kebingungan. Dari segi realitas batin (hakikat) segala sesuatu sangat masuk akal dan tidak ada yang nampak janggal, tapi jika kita melanggar norma-norma akal dan pikiran, maka kita memasuki alam kebingungan.
كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ
9. Sekali-kali tidak Engkau menolak Hari Pengadilan.Kalla (sekali-kali tidak) maksudnya menegaskan kembali. Dengan kata lain maksud ayat ini adalah 'Memang demikianlah halnya'. Penolakan bagi manusia sangatlah wajar: "Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi” (Q.S.103:2); dan, sangat bisa dimaklumi kalau kita melanggar, lupa dan tidak ingat. Itulah sebabnya mengapa Allah Maha Pengampun, Maharahman, dan mengapa kita bertobat kepada Allah. Hal ini Normal. Dalam konteks ayat ini, yang sedang kita ingkari adalah transaksi yang benar dan perilaku yang benar, yakni satu-satunya jalan untuk hidup, untuk bersiap-siap, untuk berada dalam keadaan bebas dari hawa nafsu di mana kita dapat menyadari dan mengalami keberlimpahan.
Ayat ini berbicara kepada kita pada tataran batin yang dalam. Din, dalam konteks lain, biasanya diterjemahkan sebagai 'agama'. Namun kata tersebut menunjukkan suatu transaksi, yakni transaksi untuk membayar utang-utang kita kepada sang Pencipta. Akar kata din adalah dâna, yakni 'berhutang, menjadi sasaran, menyerah'. Sifat dasar manusia memang mengingkari Islam. Persis bagaikan ikan salmon yang berusaha berenang ke hulu dan hanya sedikit sekali yang mencapai sumbemya. Ayat ini ditujukan untuk orang-orang Mekah kepada siapa ayat ini khususnya diturunkan, dan juga untuk semua orang di sepanjang masa. Sifat sejati manusia adalah ingin mencari sumbernya, sementara sifat rendahnya adalah menolak perjanjian yang mengaridung kerahmanan dan hanya dapat diketahui melalui pembayaran utang—dengan menghidupkan din— yang memang utangnya. Kemudian jalan kecil menuju Kerahmanan yang meliputi semua makhluk dilicinkan, ta'abbada (diratakan, dibuka, dilicinkan), melalui nyanyian ibadah.
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ
10. Dan sesungguhnya ada penjaga untuk kamu.Kekuatan dan energi yang luhur, malaikat atau lainnya, menggiring kita ke arah pola dan takdir penciptaan. Kekuatan ini ditujukan kepada hâfizhin (penjaga, pelindung) karena tugas mereka adalah merefleksikan salah satu sifat Allah, al-Hafizh. Nama 'Pelindung, Penjaga, Pemelihara' menunjuk kepada Allah, satu-satunya Pelindung yang sejati.
Bagaimana mengejawantahkan al-Hafizh? Nama ini berasal dari akar kata kerja yang berarti 'memelihara, melindungi, menjaga, menopang, mengingat'. Hafizh, dalam bahasa Arab sehari-hari, berarti seseorang yang hafal Al-quran. Sang Pencipta tidak akan menciptakan hukum kehidupan kalau Dia tidak akan mempertahankannya. Dengan demikian kita yakin bahwa hukum itu tidak berubah dan tidak akan berubah bagi siapa pun, baik ia seorang nabi, rasul, atau orang biasa. Hukum penciptaan berlaku sama kepada semua. Banyak di antara hukum-hukum ini yang kita anggap pasti benar karena kita tunduk padanya sepanjang waktu, seperti hukum gravitasi. Setiap diri ingin sekali mempertahankan, memelihara dan melanjutkan hidup. Ini adalah manifestasi kekuatan hâfizhin melalui diri.
كِرَامًا كَاتِبِينَ
11. Juru catat yang mulia.Segala perbuatan manusia langsung dicatat. Ganjarannya seketika itu juga, dan akan ditulis dalam buku catatan amal dan kemudian dicatat dalam dirinya sendiri. Baik penyakit serius maupun ringan yang menyebabkan kita menderita adalah akibat langsung dari perbuatan kita. Ganjaran kita identik dengan perbuatan kita, dan makna dari perbuatan kita adalah niatnya. Kita mewujudkan niat: pada saat ini kita adalah jumlah total dari semua niat masa lampau kita. Jika mereka bebas—fi sabilillah (di jalan Allah)—maka kita bebas. Kita sama kotornya atau sama bersihnya dengan niat kita, dan itulah yang menentukan keadaan dan kondisi hati kita.
Jika niat manusia bersih sebersih-bersihnya, namun ia bertindak secara bodoh karena ia tidak memiliki cukup pengetahuan dunia lahiriah, maka mungkin ada yang menganggapnya tolol atau bahkan jahat jika orang lain menderita akibat tindakannya. Meskipun demikian Allah, Yang Mahabijaksana, memaafkan dia. Tapi di dunia ini, hukum lahiriah (syariat) meliputi kebenaran abadi (hakikat). Segala sesuatu mengikuti hukum Allah, dan hanya Allah yang berkuasa. Jika, meskipun niatnya bersih, ternyata manusia dijebloskan ke dalam penjara karena secara lahiriah menyebabkan keluhan kepada orang lain dan perbuatannya ini dapat dikenai hukuman, maka hal ini dibenarkan menurut syariat. Seorang hamba Allah yang benar-benar bebas (secara batiniah—peny.), namun berada dalam penjara (secara lahiriah—peny.), akan benar-benar puas dengan ketetapan Allah atas dirinya.
Kirâm kâtibîn (pencatat yang mulia) artinya bahwa amal baik yang paling luhur adalah mengetahui jalan yang sesuai dengan penciptaan manusia. Para malaikat, atau kekuatan, yang menjaga agar kehidupan berjalan terus dengan lancar di dunia ini, adalah kirâm kâtibîn. Mereka adalah energi dan kekuatan dalam diri manusia yang mencatat kisah manusia dari dalam. Setiap satu sel dalam tubuhnya menggemakan seluruh kemakhlukkannya, yang mengandung sejarah tentang semua yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi.
Kâtibîn berasal dari kata kerja kataba, yang berarti 'menuliskan, menggoreskan, menentukan, menakdirkan'. Ada pengertian 'mengumpulkan' di dunia ini. Karena itu, kitab tidak hanya berarti 'buku', tapi juga 'apa yang diperbuat'. Jika seseorang dalam keadaan sadar, ia dapat 'membaca' apa yang diperbuat. Itulah yang dimaksud Alquran. Para malaikat, atau kekuatan, adalah mulia karena mereka berada pada batas-batas kemampuannya yang telah ditentukan. Dituliskan bahwa mereka harus menulis, dan mereka melakukannya.
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
12. Mereka mengetahui apa yang engkau lakukan.Entitas atau kekuatan—kemana kita dihubungkan dan diikatkan oleh Realitas Tunggal—mengetahui apa yang kita lakukan meskipun intensitas pengetahuannya berbeda. Segala sesuatu yang kita lakukan akan mempengaruhi segala sesuatu yang lain dalam keseimbangan ekologis yang mutlak ini. Setiap perbuatan kita akan meninggalkan kesan pada kekuatan sensitif yang menguasai serat kosmik yang halus. Itulah mengapa kita mengatakan, "Allah sangat mengetahui", dan "Allah memiliki pengetahuan atas segala sesuatu."
Allah adalah al-'Alim (Yang Maha Mengetahui [semua]). Jika kita bertambah dalam 'ilm (pengetahuan, kearifan), maka kita akan mendekati al-'Alim, sehingga kebodohan akan berkurang. Ibaratnya, saat cangkir menjadi penuh maka apa yang berada dalam cangkir dan cangkimya sendiri sudah dapat dipahami sebagai membentuk satu sistem, karena agar ada isi maka harus ada wadah. Inilah makna dari tema di mana seorang guru agung berkata: "Satukan minuman dengan cangkir dan lenyaplah olehnya (minuman-cangkir sudah menjadi 'satu' sistem—peny.)."
Meskipun kedua sistem itu nampak berbeda, yang satu cair dan satunya lagi padat, manusia adalah penghubung, ruang antara (barzakh), maka ia harus menghubungkan batin dengan lahir. Dari sudut pandang 'arifbi'llah (orang yang mengenal Allah), tidak ada yang namanya batin ataupun lahir. Yang ada hanyalah Allah, Realitas Tunggal, yang memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk penciptaan.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
13. Sesungguhnya orang-orang yang tulus ada dalam kenikmatan.Surah ini dimulai dengan mendeskripsikan dampak besar di hari kiamat (akhir dunia), yang deskripsinya meliputi akhir kita sendiri, dan kemudian memberi kita kabar baik tentang kenikmatan. Akar kata abrarbarra (bersikap adil). Barr adalah 'permukaan tanah yang luas', tapi maknanya lebih dari sekadar gurun pasir. Kata ini menunjukkan ruang, keterbukaan dan pandangan yang jelas. Barrbahr (laut). Di atas barr segala sesuatu nampak jelas, tapi dalam bahr segala sesuatu tersembunyi di bawah permukaan. (bebas, adil, baik hati) adalah adalah lawan dari
Na'im (kebahagiaan, damai, sentosa) barasal dari na'ama (hidup senang dan tenteram, berbahagia, lembut). Na'am artinya 'ya'. Ni'mah Allah adalah nikmat Tuhan. Di antara sifat dasar manusia adalah membenarkan karunia Allah. Keadaan abrar yang sesungguhnya akan merefleksi ke tempat tinggal di masa akan datang, dan di sana yang akan mereka dapati tak lain hanyalah kenikmatan atau kesenangan semata.
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
14. Dan sesungguhnya orang-orang yang jahat ada dalam api yang membakar.Siapa pun yang hidup bertentangan dengan sifat dan hakikat dirinya, maka ia telah melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri. Seorang fajir adalah orang yang menjemmuskan dirinya ke dalam pelanggaran, orang yang telah melampaui batas-batas agama, melampaui batas-batas sifat luhumya. Dari sudut pandang ini, mereka yang melanggar batas (fujjar) berada dalam neraka. Kehidupan neraka sama dengan kerusuhan, pergolakan yang tiada henti dan matinya stabilitas. Itulah keadaan yang dapat dirasakan tidak hanya setelah kematian tapi juga dalam kehidupan ini.
يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ
15. Mereka akan masuk ke sana pada Hari Pengadilan.Yawm (hari) tidak hanya berarti suatu jangka waktu dua puluh empat jam, tapi juga keadaan pikiran. Dari sisi manusia yawm kita adalah dua puluh empat jam, tapi yawm Allah berbeda, bisa sepanjang 50.000 tahun, seperti yang dikatakan Alquran.
Orang-orang yang melanggar (fujjar) akan menyentuh api pada Hari Pengadilan, hari dimana utang-utang harus dibayar. Setiap detik adalah saat di mana kita bisa membayar utang-utang kita, sehingga kalau kita mau membayar utang setiap saat maka kita akan berada dalam keseimbangan. Jika kita mencoba menyembunyikan utang-utang kita, maka Yawm al-din (Hari Pengadilan atau Perhitungan) menjadi hari kematian kita dari kehidupan ini. Ini adalah Hari Pengadilan yang lebih kecil. Hari Pengadilan yang lebih besar akan tiba bila sudah tidak ada lagi yang dibiarkan tersembunyi.
وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ
16. Dan mereka tak akan lolos dari itu!Gha'ib artinya 'mangkir atau tersembunyi'. Pada hari kebenaran tidak akan ada yang bisa memangkirkan diri. Pada hari kebenaran, apakah sekarang ataupun nanti, segala sesuatu akan diperhitungkan, dan tidak akan ada tempat pelarian. Kita akan menyaksikan ternyata apa pun niat baik yang kita tanam akan langsung menghasilkan buah. Kita masing-masing akan menjadi saksi yang sesungguhnya, dan inilah makna sebenarnya dari syahadah (penyaksian langsung). Jika kita tidak secara terus-menerus mengelola niat-niat kita di sini dan saat ini, maka kita akan berurusan dengan semua niat kita kelak sekaligus dalam waktu bersamaan. Cara untuk memahami hal ini adalah dengan mengetahui apa niat-niat kita dan sudah seperti apa mereka.
Kunci menuju kesuksesan adalah Allah. Jika seseorang mencintai Allah maka tidak ada pilihan baginya selain sukses dalam dunia ini. Ia akan memperhitungkan setiap detik yang berlalu dan tidak menunda-nundanya. Hanya orang-orang bodoh yang tidak mau memeriksa catatannya karena mengira mereka telah mengacaukannya. Tapi jika mereka sadar bahwa keseimbangan itu demi kepentingan mereka, maka mereka akan selalu ingin melihatnya. Jika kita memperhitungkan (menghisab) diri kita setiap saat, maka kita akan bersih.
Imam Hasan, yang mengutip dari Nabi Muhammad, datuknya, berkata: "Orang yang takut kepada Allah tidak akan pemah takut kepada hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang takut kepada hamba-hamba Allah tidak takut kepada Allah'. Ini karena hamba Allah, maksudnya semua manusia, adalah bayangan dari dirinya sendiri. Dan jika seseorang takut kepada Allah, maka sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Hasan: "Orang yang ingin menyenangkan Allah akan menemukan bahwa dunia senang kepadanya, dan orang yang ingin menyenangkan dunia akan menemukan bahwa Allah tidak senang kepadanya."
Jika pada setiap saat kita siap mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada Allah seakan-akan kita baru saja dibangkitkan dari kubur, seakan-akan niat-niat kita disingkapkan dari dada kita, maka kita akan bebas dari segala belitan dan akan menemukan diri kita lebih berdayaguna. Akal kita akan menjadi lebih tajam karena ia merupakan kemampuan yang harus dikembangkan, dan kita akan berlaku seolah-olah kita selalu siap menyerahkan seluruh kehidupan kita kepada-Nya untuk diperiksa.
Kita menunda-nunda untuk mengintrospeksi diri kebanyakan karena kita tidak ingin mengganggu khayalan-khayalan kita yang sudah lazim. Tapi setiap aksi ada reaksinya yang sebanding dan berlawanan. Segala sesuatu dalam kehidupan sesuai dengan adabnya, dan semakin kita mengetahui adab tersebut, semakin kita berdayaguna dalam setiap situasi. Pengetahuan ini, sebenamya, terdapat dalam hati kita. Adab berhubungan dengan seberapa siap kita menghadapi neraca rugi-laba kita.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
17. Dan apakah yang akan membuat engkau mengerti apa itu Hari Pengadilan?Apa yang kita ketahui tentang Hari Perhitungan? Mengapa tidak terjadi sekarang saja? Karena alasan inilah maka bila seorang muslim tidak berhasil, kita pun tahu bahwa ia tidak berada dalam Islam. Jika seseorang tidak berhasil, berarti ada yang salah. Ini bukan pengadilan atas dirinya, karena hal itu adalah urusan antara dia dengan Allah, tapi itulah jalan ilmu pengetahuan yang sejati. Hamba Allah yang sejati tidak membuang-buang waktu. Jika ia tidak berhasil, berarti ia telah bertindak salah; barangkali ia tidak melakukan pemilah-milahan yang tepat, tidak memutuskan dengan benar, atau tidak berembuk dengan benar; barangkali ia terikat pada sesuatu.
Jika kita siap menghadapi segala sesuatu dalam diri kita setiap saat, kita menemukan bahwa ketika kita melihat dan mengenal semua ular dan kalajengking yang telah kita sembunyikan, kita akan mengetahui bagaimana mengatasi mereka agar tidak menyengat atau menggigit kita. Dengan demikian kita memasuki kesadaran. Itulah sebabnya kita mengatakan bahwa orang-orang yang telah sampai pada lingkaran batin para kekasih Allah akan senantiasa berubah. Dengan kesadaran setengah detik saja, mereka mengetahui sifat mereka sebenamya, realitas mereka yang sebenarnya. Apabila seseorang sungguh-sungguh mengetahui keadaan hatinya, apabila dia benar-benar, secara total dan dengan tulus sadar, maka ia telah mencapai tujuannya.
Hari Pengadilan (yawm al-din) hanyalah sehari, sejenak, sepenggal detik, namun ia juga suatu kondisi. Apakah sekarang kita sedang menghisab diri kita? Adalah menyimpang dari pokok pembicaraan kalau kita mengajukan pertanyaan tentang saat akhir. Kita tidak dapat melihat 'saat' itu sebab kita bergairah dengan hari esok. Antisipasi ini diakibatkan oleh keinginan untuk melarikan diri dari kedalaman 'saat' itu yang menakjubkan dan tiada berujung yang sedang kita habiskan dengan sia-sia. Kita harus belajar melihat keindahan dari kejahatan yang nampak, kedalaman dari saat ini serta maknanya, dan juga melihat bagaimana terjadinya serta jalan apa yang ditempuh sehingga terjadi dengan cara seperti ini. Kita harus belajar melihat kesempurnaan dan melihat tanpa menilai.
ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
18. Sekali lagi, apa yang akan membuat engkau mengetahui apa itu Hari Pengadilan?Ayat 17 diulangi di sini dalam rangka mencamkan persoalan. Tanda-tanda apa lagi yang kita butuhkan? Jalannya adalah ilmu yang mutlak; itulah jalan shafa (kesucian, kebersihan).
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
19. Hari ketika tiada jiwa menguasai sesuatu untuk kepentingan jiwa yang lain, dan perintah pada hari itu adalah kepunyaan Allah.Jika seseorang sadar tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan atas apa pun atau siapa pun dan melepaskan kekuasaan dan kepemilikan sekarang juga, maka Yawm al-din adalah Yawm amr Allah (Hari perintah atau komando Allah kepadanya). Pada saat itu kita berada' dalam syirk (yakni kita menyekutukan Allah) kalau kita berkata: "Ini antara Allah dengan aku". Yawm ini, hari ini, dibagi antara Allah dan kita, karena kita bingung mengenai mana ketetapan Allah dan mana yang semata-mata tingkah kita sendiri. Kita tidak dapat membedakan antara wahm (khayalan) dan hawa (keinginan), atau apa yang telah Allah tuliskan. Allah telah menuliskan hal-hal yang harus diikuti menurut hukum yang pasti. Jika kita melanggarnya, kita akan hancur, lahir maupun batin.
Yawm al-din diartikan sebagai 'Hari di mana tidak ada jiwa yang memiliki kekuasaan [untuk melakukan] apa pun demi kepentingan jiwa lainnya'. Dengan kata lain, setiap orang benar-benar dan sama sekali bertanggung jawab atas dirinya sendiri sekarang juga, tanpa ada alasan bertanggung jawab atas orang lain sebelum bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena akhirnya hanya ada satu jiwa. Masing-masing orang bertanggung jawab atas segala sesuatu; tidak ada yang terpisah, tapi pertama-tama kita harus tahu siapa kita. Jika kita telah melakukannya, maka kita dapat menyambut Hari Perhitungan dengan hati bersinar.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar